By. Julianto Simanjuntak***
Seorang gadis belia dan cantik jelita datang konsultasi, Sebutlah namanya Erin. Dia berasal dari satu kota di Jawa. Erin seorang gadis yang jenius, hangat, dan terbuka. Enak rasanya ngobrol dengan dia.
Erin mulai percakapan dengan membagikan masalahnya, bahwa dia jatuh cinta dengan seorang teman wanitanya. Teman se kampus. Teman perempuannya ini lebih bergaya seorang “pria”.
Bersifat melindungi, enak diajak bicara, dan hangat. Mulanya hanya sahabat tapi kemudian Erin merasa “menyukai” temannya ini, sampai kemudian berhubungan intim. Meski awalnya dia punya rasa bersalah dan takut (berdosa), tapi kebutuhan Erin akan perhatian mengalahkan rasa takut itu.
Saya mencoba mengeksplorasi pengalaman pengalamannya sebelum dia intim dengan “pacar” nya ini.
Erin bercerita, awalnya dia merasa seperti perempuan lainnya, normal. Saat SMU dia pernah jatuh cinta dan pacaran dengan cowok yang dia kenal baik. Dengan bangga dia kenalkan dengan ayah dan ibunya. Sang ibu tidak masalah, tapi Ayahnya sangat keras.
Sang ayah memaksa Erin segera memutuskan hubungan dengan pria pujaan hatinya. Erin merasa sangat terpukul, sebab si ayah sama sekali tidak mau berdialog soal pacarnya itu. Tidak ada alasan yang diberikan.
Beberapa waktu kemudian Erin kembali jatuh cinta dan menjalin hubungan pacaran dengan salah satu sahabat terbaiknya. Ia berharap akan mendapat restu Ayahnya. Tapi luka lama terkuak kembali. Si Ayah tetap dengan sikap tirannya.
Erin lagi-lagi terpaksa memutuskan cowoknya. Erin marah, sedih, terpukul dan kecewa dengan sikap si Ayah. Gelap rasanya di hati Erin. Patah hati berulang kali menyisakan lobang yang dalam di hatinya. Dia merasa waktu menjalin hbungan persahabatan dan cinta musnah begitu saja.
Setamat SMU Erin kuliah ke Jakarta. Perasaan luka yang menyisakan lobang dalam di hati Erin, rupanya bisa diisi seorang sahabat wanitanya. Temannya yang sangat baik, peduli, enak diajak bicara. Akibatnya si Erin tak kuasa menolak “cinta” sahabatnya.
Setelah percakapan 3 jam, sharing yang panjang dari Erin saya mencoba konfirmasi hasil diagnosa saya kepada Erin. Apakah, selain perasaan saling cocok dan membutuhkan, Erin membangun hubungan itu sebagai sikap balas dendam kepada ayahnya? Erin mengangguk.
Aura kemarahan kepada Ayahnya terasa banget. Erin sudah tidak peduli bahwa ayahnya akan marah besar dengan keputusannya “menikah” dengan teman lesbinya. Erin juga cuek jika ayahnya malu, karena ayahnya seorang terpandang dan punya banyak relasi.
Dari kisah ini kita belajar bahwa, trauma disakiti Ayah menyisakan lobang yang dalam. Jika lobang itu diisi secara salah, maka sangat berbahaya buat si anak. Sayangnya Erin bertemu dengan seorang temannya yang juga sedang terluka dengan ayah kandungnya. Punya pengalaman mirip membuat mereka mudah saling bersimpati dan membutuhkan.
Sayang Ayah Erin tidak menyadari kesalahannya. Malahan menurut Erin sang Ayah terus marah-marah, karena mengetahui hubungan itu. Andai dia sadar dan minta maaf, mungkin kisah Erin akan berbeda. Sebab Erin pada dasarnya anak yang baik dan kooperatif.
Saya teringat nasehat bijak untuk para Ayah: “Hai Bapak-bapak, janganlah sakiti hati anakmu.”
Bang JS
Tidak ada komentar:
Posting Komentar